Seorang pilot Jerman menjunjung tinggi nilai kesatria dengan tidak menembak jatuh pesawat yang sudah terpincang karena berondongan peluru.
Banyak keajaiban terjadi saat Perang Dunia II (1935 - 1945). Satu di antaranya menyangkut pembom B-17 Flying Fortress yang dijuluki "Ye Old Pub".
Saat itu, sekujur badannya penuh lubang,
terkena berondongan peluru, salah satu mesinnya mati, ekor, elevator,
dan hidung nyaris hancur. Tinggal jatuh dari langit.
Tidak jauh dari sana, sebuah pesawat
tempur Jerman Me-109 terbang di sampingnya, siap memuntahkan peluru
terakhir untuk menjatuhkan B-17. Tapi apa disangka. "Saya tidak sampai
hati menembaknya jatuh," kenang Frans Stigler, pilot Me-109 kepada
Charlie Brown, pilot B-17 Ye Old Pub saat mereka bertemu 40 tahun setelah Perang Dunia II.
Hormat sesama pilot
Kala itu, Charlie Brown (21) berada di belakang kemudi B-17 dari 379th Bomber Group di Kimbolton, Inggris. Selain keadaan sekujur badan pesawatnya dirobek peluru dan flak, kompasnya pun rusak. Tanpa penunjuk arah ini, B-17 terbang terpincang, masuk lebih dalam ke wilayah musuh.
Kala itu, Charlie Brown (21) berada di belakang kemudi B-17 dari 379th Bomber Group di Kimbolton, Inggris. Selain keadaan sekujur badan pesawatnya dirobek peluru dan flak, kompasnya pun rusak. Tanpa penunjuk arah ini, B-17 terbang terpincang, masuk lebih dalam ke wilayah musuh.
Begitu B-17 terlihat terbang melintas di
atas lapangan udara musuh, pilot Luftwaffe (AU) Jerman Nazi, Frans
Stigler, diperintahkan menyergap dan menembak jatuh. "Saya tidak pernah
menjumpai pesawat begitu rusak masih bisa terbang. Ekor dan bagian
belakangnya rusak berat, tail gunner luka, dan top gunner
tewas dengan sekujur badannya terserak di atas badan pesawat. Bagian
hidungnya hancur, sekujur badan pesawat penuh lubang peluru," kenangnya.
Meski Me-109 penuh peluru, Stigler tidak
memuntahkan satu peluru pun. Sebaliknya, ia mendekati B-17 dan terbang
di sampingnya sehingga bisa melihat Brown dengan jelas. Stigler membuat
Brown ketakutan sambil berjuang mengemudikan pesawatnya.
Sadar Brown tidak tahu kemana arah
terbang B-17, Stigler memberi isyarat dengan tangan untuk berbelok 180
derajat. Stigler kemudian menuntun pesawat Brown sampai sedikit melewati
Laut Utara mendekati Inggris. Dia kemudian memberi hormat salut,
membelokan pesawat, dan pulang ke pangkalan.
Setelah mendarat, Stigler bilang pada
komandannya bahwa B-17 itu sudah ia lumpuhkan di atas laut. Lebih dari
40 tahun kemudian, tidak pernah ia menceritakan kejadian sesungguhnya.
Ia ditemukan kembali oleh Brown yang
melakukan riset siapa penolongnya. Mereka bertemu saat keduanya berusia
80 tahun dalam reuni 379th Bomber Group, juga dengan lima awak Ye Old Pub lainnya. Mereka masih hidup karena Stigler tidak memuntahkan pelurunya ke B-17, jelang Natal, Desember 1943.
"Saya tidak bisa menembak mereka, itu sama saja menembak orang yang sedang bergelayutan dengan parasut," tegasnya.
Uniknya, Stigler dan Brown ternyata
hanya terpisah sekitar 321 kilometer satu sama lain pasca-perang.
Stigler di Vancouver, Kanada, sedangkan Brown di Seattle, Amerika
Serikat. Keduanya meninggal pada tahun sama, 2008. Frans Stigler wafat
lebih dulu pada 22 Maret, Brown menyusul pada November.
*Kisah ini disadur dari artikel Majalah Commando Edisi No.2 Thn VIII 2012 dengan judul asli Saya Tidak sampai Hati Untuk Menembak Jatuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Gunakanlah kolom komentar untuk berkomentar dengan bijak