Minggu, 14 April 2013

Pertempuran Iwo Jima (Pulau Belereng)

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi
(Chairil Anwar- Krawang Bekasi, 1948)

Sepenggal puisi liris Chairil Anwar ini langsung teringat oleh saya, ketika saya membaca kisah tentang Perang Iwo Jima seperti yang saya ceritakan kembali di bawah ini.
Pagi itu,  19 Pebruari 1945,  babak akhir Perang Dunia II seksi Pasifik mendekat dengan cepat.  Fajar baru saja merekah di Pulau Iwo Jima.  Sudah sejak jam 02.00 waktu setempat,  pulau itu dihajar artileri berat dari puluhan kapal perang dan ratusan ton bom dijatuhkan dari udara oleh pesawat pembom B24 dan Mustang P51 Sekutu yang berpangkalan di Pulau Saipan. Sejak jam 08.59 secara berangsur 30.000 orang tentara marinir Sekutu mendarat di pulau itu untuk memberikan pukulan terakhir kepada tentara Jepang yang hanya mampu bertahan.  Tidak ada “sambutan” samasekali dari pihak Jepang. Sudahkah perlawanan mereka berhasil dipatahkan oleh riuhnya tembakan artileri dan bom sepagian tadi?
Perang memperebutkan Pulau IwoJima baru saja dimulai.


l



 



Sesungguhnya tidak ada yang menarik di pulau ini. Pulau yang di dominasi pasir hitam dan batuan hasil letusan Gunung Suribachi yang ada di tengah pulau ini nyaris tidak berpenduduk. Luasnya hanya 8 mil persegi ditengah Samudra Pasifik yang luas ini, bahkan tidak nampak di peta dunia manapun di masa damai. Tidak ada bangunan penting atau hasil tambang yang diperebutkan di sini.
Tapi pulau ini punya posisi yang sangat strategis. Dalam usahanya untuk memberikan pukulan terakhir kepada Jepang, Sekutu memerlukan pangkalan udara untuk armada pesawat pembomnya. Pesawat terbaru AS, B29 Fortress hanya mampu terbang 3.000 mil nonstop. Belum ada teknologi kapal induk bertenaga nuklir atau pengisian bahan bakar di udara, jadi Pulau Iwo Jima yang hanya berjarak 600 mil dari Tokyo benar-benar punya nilai penting. Usai menaklukkan Pulau Saipan 15 Juni 1944, Sekutu secara serius bersiap untuk menaklukkan Iwo Jima. 100.000 personil pasukan Marinir disiapkan untuk menaklukkan pulau yang diketahui hanya dipertahankan oleh 20.000 tentara Jepang
Ternyata tentara Jepang memilih cara yang terbukti sangat efektif  untuk bertahan. Gua-gua alam yang banyak bertebaran di lereng gunung disulap jadi bunker pertahanan yang dipersenjatai senapan mesin, bahkan meriam anti pesawat udara.  Jenderal Tadamichi Kuribayashi, pimpinan tentara Jepang di pulau itu sejak awal sudah melihat bahwa kemungkinan menang di pihaknya sama sekali tidak ada. Karena itu strategi satu-satunya adalah bertahan sampai mati di pulau itu sambil membunuh sebanyak mungkin lawan. Bunker-bunker itu dihubungkan satu sama lain dengan lorong-lorong tikus yang totalnya mencapai 18 km.
Pagi itu tentara Jepang ternyata memang sudah menunggu. Pendaratan berlangsung mulus tanpa gangguan. Tapi setelah tentara Sekutu bergerak maju sampai di tengah pulau,  di area terbuka dan dalam jarak tembak,  barulah senapan mesin Jepang menyalak bersama.   Sungguh sulit membangun lubang perlindungan di area berpasir seperti itu.  Galian lubang pertahanan dengan cepat akan tertutup kembali oleh pasir vulkanis yang halus. Tentara Sekutu segera terbantai disini. Apalagi Jepang juga menggunakan mortir raksasa 320 mm yang pelurunya ketika menghantam tanah segera pecah bertebaran memutuskan bagian tubuh tentara lawan yang terkena.
Segala daya dan peralatan dikerahkan untuk menaklukkan pulau ini. Mulai dari pelontar api (flamethrower) yang dapat segera dapat menghabisi penjaga bunker sampai tank Sherman M4A3R3 yang badannya anti meriam serta pesawat pembom yang dituntun dari bawah agar tepat sasaran. Tapi ternyata memang tidak mudah, karena setiap bunker saling berhubungan, bunker yang kosong segera terisi kembali.
Serangan ini berkode sandi Operasi Detasemen ternyata berlarut-larut menjadi perang adu ketahanan. Tentara Jepang sudah terputus hubungan dari dunia luar akibat blokade Sekutu, tidak lagi mendapat bantuan logistik dan amunisi. Meskipun mereka kekurangan makanan, air minum dan senjata, mereka tidak pernah menyerah. Perlu waktu 74 hari untuk memastikan perlawanan Jepang benar-benar telah patah. Sampai seluruh daratan pulau dikuasai 26 Maret1945,  Sekutu tidak pernah benar-benar mampu menguasai lorong-lorong tikus yang dipakai tempat berlindung tentara Jepang itu.  Diperkirakan masih ada 300 orang Jepang yang tetap bertahan di perut gunung, meskipun Sekutu sudah meguasai seluruh daratannya.
Perang ini disebut sebagai perang tersengit dan paling berdarah di arena Perang Dunia II.  Dari 22.000 orang tentara Jepang yang bertahan, hanya 300 orang yang tertangkap hidup secara berangsur, termasuk 3 orang yang baru tertangkap tahun 1951, 6 tahun setelah perang berakhir!. Korban di pihak Sekutu pun tidak kecil. Dari 70.000 orang tentara yang terlibat langsung dalam operasi ini, 6.800 orang gugur (data resmi pihak Sekutu) dan lebih dari 19.000 orang luka berat dan ringan.
Sengitnya pertempuran ini juga ditunjukkan dari jumlah Medali Kehormatan, penghargaan tertinggi dari pemerintah AS untuk prajurit yang dianggap berjasa dalam perang. Dari jumlah 82 medali yang dibagikan untuk semua Marinir yang telibat Perang Dunia II, 28 diantaranya dianugerahkan untuk prajurit yang terlibat di front Iwo Jima ini.

1 komentar:

  1. Seandainya saja jepang melakukan taktik banzai dg di koordinir secara hemat dan d bekali setiap individunya dg taktik komando dan sabotase,kemungkinan korban dr US akan sangat banyak.Tapi jepang salah perhitungan,setiap kali melakukan banzai selalu secara massal dan dg posisi terbuka.

    BalasHapus

Gunakanlah kolom komentar untuk berkomentar dengan bijak