Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi
(Chairil Anwar- Krawang Bekasi, 1948)
Sepenggal puisi liris Chairil Anwar ini langsung teringat oleh saya, ketika saya membaca kisah tentang Perang Iwo Jima seperti yang saya ceritakan kembali di bawah ini.
Pagi itu, 19 Pebruari 1945, babak
akhir Perang Dunia II seksi Pasifik mendekat dengan cepat. Fajar baru
saja merekah di Pulau Iwo Jima. Sudah sejak jam 02.00 waktu setempat,
pulau itu dihajar artileri berat dari puluhan kapal perang dan ratusan
ton bom dijatuhkan dari udara oleh pesawat pembom B24 dan Mustang P51
Sekutu yang berpangkalan di Pulau Saipan. Sejak jam 08.59 secara
berangsur 30.000 orang tentara marinir Sekutu mendarat di pulau itu
untuk memberikan pukulan terakhir kepada tentara Jepang yang hanya mampu
bertahan. Tidak ada “sambutan” samasekali dari pihak Jepang. Sudahkah
perlawanan mereka berhasil dipatahkan oleh riuhnya tembakan artileri dan
bom sepagian tadi?
Perang memperebutkan Pulau IwoJima baru saja dimulai.
l
Sesungguhnya tidak ada yang menarik
di pulau ini. Pulau yang di dominasi pasir hitam dan batuan hasil
letusan Gunung Suribachi yang ada di tengah pulau ini nyaris tidak
berpenduduk. Luasnya hanya 8 mil persegi ditengah Samudra Pasifik yang
luas ini, bahkan tidak nampak di peta dunia manapun di masa damai. Tidak
ada bangunan penting atau hasil tambang yang diperebutkan di sini.
Tapi pulau ini punya posisi yang
sangat strategis. Dalam usahanya untuk memberikan pukulan terakhir
kepada Jepang, Sekutu memerlukan pangkalan udara untuk armada pesawat
pembomnya. Pesawat terbaru AS, B29 Fortress hanya mampu terbang 3.000
mil nonstop. Belum ada teknologi kapal induk bertenaga nuklir atau
pengisian bahan bakar di udara, jadi Pulau Iwo Jima yang hanya berjarak
600 mil dari Tokyo benar-benar punya nilai penting. Usai menaklukkan
Pulau Saipan 15 Juni 1944, Sekutu secara serius bersiap untuk
menaklukkan Iwo Jima. 100.000 personil pasukan
Marinir disiapkan untuk menaklukkan pulau yang diketahui hanya
dipertahankan oleh 20.000 tentara Jepang
Ternyata tentara Jepang memilih cara
yang terbukti sangat efektif untuk bertahan. Gua-gua alam yang banyak
bertebaran di lereng gunung disulap jadi bunker pertahanan yang
dipersenjatai senapan mesin, bahkan meriam anti pesawat udara. Jenderal
Tadamichi Kuribayashi, pimpinan tentara Jepang di pulau itu
sejak awal sudah melihat bahwa kemungkinan menang di pihaknya sama
sekali tidak ada. Karena itu strategi satu-satunya adalah bertahan
sampai mati di pulau itu sambil membunuh sebanyak mungkin lawan.
Bunker-bunker itu dihubungkan satu sama lain dengan lorong-lorong tikus
yang totalnya mencapai 18 km.
Pagi itu tentara Jepang ternyata memang
sudah menunggu. Pendaratan berlangsung mulus tanpa gangguan. Tapi
setelah tentara Sekutu bergerak maju sampai di tengah pulau, di area
terbuka dan dalam jarak tembak, barulah senapan mesin Jepang menyalak
bersama. Sungguh sulit membangun lubang perlindungan di area berpasir
seperti itu. Galian lubang pertahanan dengan cepat akan tertutup
kembali oleh pasir vulkanis yang halus. Tentara Sekutu segera terbantai
disini. Apalagi Jepang juga menggunakan mortir raksasa 320 mm yang
pelurunya ketika menghantam tanah segera pecah bertebaran memutuskan
bagian tubuh tentara lawan yang terkena.
Segala daya dan peralatan dikerahkan untuk menaklukkan pulau ini. Mulai dari pelontar api (flamethrower)
yang dapat segera dapat menghabisi penjaga bunker sampai tank Sherman
M4A3R3 yang badannya anti meriam serta pesawat pembom yang dituntun dari
bawah agar tepat sasaran. Tapi ternyata memang tidak mudah, karena
setiap bunker saling berhubungan, bunker yang kosong segera terisi
kembali.
Serangan ini berkode sandi Operasi Detasemen
ternyata berlarut-larut menjadi perang adu ketahanan. Tentara Jepang
sudah terputus hubungan dari dunia luar akibat blokade Sekutu, tidak
lagi mendapat bantuan logistik dan amunisi. Meskipun mereka kekurangan
makanan, air minum dan senjata, mereka tidak pernah
menyerah. Perlu waktu 74 hari untuk memastikan perlawanan Jepang
benar-benar telah patah. Sampai seluruh daratan pulau dikuasai 26
Maret1945, Sekutu tidak pernah benar-benar mampu menguasai
lorong-lorong tikus yang dipakai tempat berlindung tentara Jepang itu.
Diperkirakan masih ada 300 orang Jepang yang tetap bertahan di perut
gunung, meskipun Sekutu sudah meguasai seluruh daratannya.
Perang ini disebut sebagai perang
tersengit dan paling berdarah di arena Perang Dunia II. Dari 22.000
orang tentara Jepang yang bertahan, hanya 300 orang yang tertangkap
hidup secara berangsur, termasuk 3 orang yang baru tertangkap tahun
1951, 6 tahun setelah perang berakhir!. Korban di pihak Sekutu pun tidak
kecil. Dari 70.000 orang tentara yang terlibat langsung dalam operasi
ini, 6.800 orang gugur (data resmi pihak Sekutu) dan lebih dari 19.000
orang luka berat dan ringan.
Sengitnya pertempuran ini juga
ditunjukkan dari jumlah Medali Kehormatan, penghargaan tertinggi dari
pemerintah AS untuk prajurit yang dianggap berjasa dalam perang. Dari
jumlah 82 medali yang dibagikan untuk semua Marinir yang telibat Perang
Dunia II, 28 diantaranya dianugerahkan untuk prajurit yang terlibat di
front Iwo Jima ini.
Seandainya saja jepang melakukan taktik banzai dg di koordinir secara hemat dan d bekali setiap individunya dg taktik komando dan sabotase,kemungkinan korban dr US akan sangat banyak.Tapi jepang salah perhitungan,setiap kali melakukan banzai selalu secara massal dan dg posisi terbuka.
BalasHapus